*Kontribusi NU Dalam Dunia Pendidikan
Pendidikan
merupakan upaya memfasilitasi
anak untuk menemukan jati dirinya sendiri akan hidup dan membangun
masyarakatnya kelak dalam kehidupan masyarakat yang beragam. Dengan adanya partisipasi Nahdatul ‘Ulama (NU)
dilakukan melalui bermacam cara dengan berbagai bidang kehidupan, salah satunya
dengan pendidikan di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) atau
Universitas umum yang lainnya atau yang biasa disebut Perguruan Tinggi Negeri
(PTN).
Mungkin orang-orang beranggapan bahwa menempuh pendidikan di PTN umum
ialah orang-orang yang tidak mengenal apa itu NU, padahal alumni-alumni Bahrul
‘Ulum sangat tersebar luas dibeberapa PTKIN sampai Universitas umum atau biasa
disebut dengan PTN. Meskipun pendidikan alumni banyak yang di luar PTKIN,
keluar dari pondok mereka sudah dibekali banyak ilmu agama, agar semuanya tidak
hanya dibekali ilmu sains dan teknologi saja saat di bangku pendidikannya.
Sudah jelas di buku “Tambakberas,
Menelisik Sejarah, Memetik Uswah” KH. Abdul Wahab Chasbullah sebagai pionir
penggemblengan para pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu
dan cinta tanah air. Nampak jelas pula jalur pendidikan adalah fokus KH. Abdul
Wahab Chasbullah dalam membangun semangat nasionalisme.
Kemudian Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum ingin sekali alumni-alumninya
masih mengenal identitas dirinya dulu sebelum mereka keluar dari pondok
pesantren. Nah, apa sih identitas para santri alumni Bahrul ‘Ulum ini? Semua
tahu, bahwa identitas para Kyai sampai dengan santrinya yakni khusus yang putra
yang paling melekat ialah sarung dan kopyah, sedangkan untuk yang perempuan
ialah hijab dan pakaian tertutup seperti gamis ataupun rok.
Hal itu tidak aneh bila orang-orang NU disebut kaum sarungan karena
kebiasaan mereka bersarung. KH. Abdul Wahab Chasbullah mengapresiasi dan bangga
dengan aksesoris tersebut. Mungkin orang-orang yang tidak tahu, pasti akan
beranggapan bahwa orang yang memakai sarung— dan yang perempuan memakai gamis
panjang ataupun rok, apalagi di dunia kampus pasti di cemooh, di bullying,
dikatain katrok bahkan, karena pakaiannya tidak modern dan tidak mengikuti
zaman. KH. Abdul Wahab Chasbullah menjadi contoh tauladan dengan penampilannya
yang khas dan penuh percaya diri itu yang perlu di apresiasi.
Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum juga ingin menciptakan alumni-alumni yang
bangga akan almamaternya, dan tidak menghilangkan apa yang sudah menjadi
bentengnya dulu sebelum keluar dari pondok, yaitu tetap pada benteng “Ahlussunnah Waljama’ah” seperti apa
yang dikatakan KH. Abdul Wahab Chasbullah. Oleh karena itu walaupun berada di
PTKIN maupun di PTN, dan berbeda cara menimba ilmu, tetapi kita tetap menjadi
satu almamater yakni Bahrul ‘Ulum.
Tidak hanya itu, Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum ini juga memiliki
keunikan tersendiri untuk memperkenalkan berbagai pandangan ilmu dengan media
kitab-kitab yang beragam. Seperti pondok A misal, ketika santrinya hendak lulus
harus melalui tahapan khusus, yaitu menyelesaikan kitab kuning dan wajib hafal imriti
dan alfiyyah. Kitab kuning dikenal dengan sebutan kitab gundul yang didalamnya mempelajari tentang ilmu fiqih, mulai dari
membersihkan diri dari hadast kecil hingga besar, dan lain sebagainya. Sedangkan
imriti dan alfiyyah yaitu mempelajari tentang nahwu shorof. Hal itu dijadikan dasar untuk kelulusan, dikarenakan
sebagai seorang santri harus memiliki keunggulan tersendiri.
Jadi, tidak hanya di dalam dunia pendidikan saja, tetapi NU juga
bergerak di dalam dunia organisasi. Seperti dalam buku “Tambakberas, Menelisik Sejarah, Memetik Uswah” bahwa untuk
membangun sebuah organisasi besar perlu mencari pemimpin yang besar,
kharismatik dan berpengaruh. Mengupas dari pandangan KH. Abdul Wahab Chasbullah,
tentang pembentukan organisasi, menentukan kepemimpinan serta keanggotaan, itu
luar biasa banyak strategi yang bias dipelajari dan dijadikan contoh generasi
saat ini.
KH. Abdul Wahab Chasbullah, pendiri dan penggerak Nahdhlatul Ulama,
memberikan pengajaran di pondok pesantren yang didirikan oleh kakek buyutnya di
Tambakberas. Namun, KH. Abdul Wahab Chasbullah yang memiliki jiwa aktifis tidak
hanya memberikan pengajaran di Pondok Pesantren, Kyai Wahab justru menghabiskan
waktu diluar pondok, untuk menggerakkan organisasi yang didirikan bersama
gurunya Hadratus Syech KH. Hasyim Asy’ari.
Maka dari itu, kita bisa mempelajari bagaimana cara menjadi seorang
pemimpin yang dapat dijadikan panutan dalam sebuah organisasi KH. Abdul Wahab
Chasbullah dalam buku “Sejarah
Tambakberas” menjelaskan bahwa ulama nusantara yang paling pas, paling
pantas dan paling mampu untuk menjadi pemimpin tertinggi di NU tidak lain
kecuali Kyai Hasyim Asy’ari. Insting politik KH. Abdul Wahab Chasbullah ini
perlu dipelajari. Karena itu KH. Abdul Wahab Chasbullah belum mendeklarasikan
berdirinya NU sebelum Kyai Hasyim merestui dan bersedia menjadi pemimpinnya.
Berdasarkan hal tersebut, sebagai penerus bangsa kita perlu mengembangkan diri, mulai dari memimpin diri sendiri. Diawali dengan mempelajari hal dasar sebagai santri hingga kita menjadi alumni, dan mampu mengetahui kapasitas diri untuk memimpin sebuah organisasi di luar Pondok Pesantren yang ditempuh. Agar kita dapat merepresentasikan diri sebagai seorang santri yang memiliki kualitas kepemimpinan yang kompeten terhadap dunia luar.
0 Komentar