Ticker

6/recent/ticker-posts

Kontribusi NU Dalam Dunia Pendidikan

 

*Kontribusi NU Dalam Dunia Pendidikan

Pendidikan merupakan upaya memfasilitasi anak untuk menemukan jati dirinya sendiri akan hidup dan membangun masyarakatnya kelak dalam kehidupan masyarakat yang beragam. Dengan adanya partisipasi Nahdatul ‘Ulama (NU) dilakukan melalui bermacam cara dengan berbagai bidang kehidupan, salah satunya dengan pendidikan di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) atau Universitas umum yang lainnya atau yang biasa disebut Perguruan Tinggi Negeri (PTN).  

Mungkin orang-orang beranggapan bahwa menempuh pendidikan di PTN umum ialah orang-orang yang tidak mengenal apa itu NU, padahal alumni-alumni Bahrul ‘Ulum sangat tersebar luas dibeberapa PTKIN sampai Universitas umum atau biasa disebut dengan PTN. Meskipun pendidikan alumni banyak yang di luar PTKIN, keluar dari pondok mereka sudah dibekali banyak ilmu agama, agar semuanya tidak hanya dibekali ilmu sains dan teknologi saja saat di bangku pendidikannya.

Sudah jelas di buku “Tambakberas, Menelisik Sejarah, Memetik Uswah” KH. Abdul Wahab Chasbullah sebagai pionir penggemblengan para pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air. Nampak jelas pula jalur pendidikan adalah fokus KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam membangun semangat nasionalisme.

Kemudian Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum ingin sekali alumni-alumninya masih mengenal identitas dirinya dulu sebelum mereka keluar dari pondok pesantren. Nah, apa sih identitas para santri alumni Bahrul ‘Ulum ini? Semua tahu, bahwa identitas para Kyai sampai dengan santrinya yakni khusus yang putra yang paling melekat ialah sarung dan kopyah, sedangkan untuk yang perempuan ialah hijab dan pakaian tertutup seperti gamis ataupun rok.

Hal itu tidak aneh bila orang-orang NU disebut kaum sarungan karena kebiasaan mereka bersarung. KH. Abdul Wahab Chasbullah mengapresiasi dan bangga dengan aksesoris tersebut. Mungkin orang-orang yang tidak tahu, pasti akan beranggapan bahwa orang yang memakai sarung— dan yang perempuan memakai gamis panjang ataupun rok, apalagi di dunia kampus pasti di cemooh, di bullying, dikatain katrok bahkan, karena pakaiannya tidak modern dan tidak mengikuti zaman. KH. Abdul Wahab Chasbullah menjadi contoh tauladan dengan penampilannya yang khas dan penuh percaya diri itu yang perlu di apresiasi.

Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum juga ingin menciptakan alumni-alumni yang bangga akan almamaternya, dan tidak menghilangkan apa yang sudah menjadi bentengnya dulu sebelum keluar dari pondok, yaitu tetap pada benteng “Ahlussunnah Waljama’ah” seperti apa yang dikatakan KH. Abdul Wahab Chasbullah. Oleh karena itu walaupun berada di PTKIN maupun di PTN, dan berbeda cara menimba ilmu, tetapi kita tetap menjadi satu almamater yakni Bahrul ‘Ulum.

Tidak hanya itu, Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum ini juga memiliki keunikan tersendiri untuk memperkenalkan berbagai pandangan ilmu dengan media kitab-kitab yang beragam. Seperti pondok A misal, ketika santrinya hendak lulus harus melalui tahapan khusus, yaitu menyelesaikan kitab kuning dan wajib hafal imriti dan alfiyyah. Kitab kuning dikenal dengan sebutan kitab gundul yang didalamnya mempelajari tentang ilmu fiqih, mulai dari membersihkan diri dari hadast kecil hingga besar, dan lain sebagainya. Sedangkan imriti dan alfiyyah yaitu mempelajari tentang nahwu shorof. Hal itu dijadikan dasar untuk kelulusan, dikarenakan sebagai seorang santri harus memiliki keunggulan tersendiri.

Jadi, tidak hanya di dalam dunia pendidikan saja, tetapi NU juga bergerak di dalam dunia organisasi. Seperti dalam buku “Tambakberas, Menelisik Sejarah, Memetik Uswah” bahwa untuk membangun sebuah organisasi besar perlu mencari pemimpin yang besar, kharismatik dan berpengaruh. Mengupas dari pandangan KH. Abdul Wahab Chasbullah, tentang pembentukan organisasi, menentukan kepemimpinan serta keanggotaan, itu luar biasa banyak strategi yang bias dipelajari dan dijadikan contoh generasi saat ini.

KH. Abdul Wahab Chasbullah, pendiri dan penggerak Nahdhlatul Ulama, memberikan pengajaran di pondok pesantren yang didirikan oleh kakek buyutnya di Tambakberas. Namun, KH. Abdul Wahab Chasbullah yang memiliki jiwa aktifis tidak hanya memberikan pengajaran di Pondok Pesantren, Kyai Wahab justru menghabiskan waktu diluar pondok, untuk menggerakkan organisasi yang didirikan bersama gurunya Hadratus Syech KH. Hasyim Asy’ari.

Maka dari itu, kita bisa mempelajari bagaimana cara menjadi seorang pemimpin yang dapat dijadikan panutan dalam sebuah organisasi KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam buku “Sejarah Tambakberas” menjelaskan bahwa ulama nusantara yang paling pas, paling pantas dan paling mampu untuk menjadi pemimpin tertinggi di NU tidak lain kecuali Kyai Hasyim Asy’ari. Insting politik KH. Abdul Wahab Chasbullah ini perlu dipelajari. Karena itu KH. Abdul Wahab Chasbullah belum mendeklarasikan berdirinya NU sebelum Kyai Hasyim merestui dan bersedia menjadi pemimpinnya.

Berdasarkan hal tersebut, sebagai penerus bangsa kita perlu mengembangkan diri, mulai dari memimpin diri sendiri. Diawali dengan mempelajari hal dasar sebagai santri hingga kita menjadi alumni, dan mampu mengetahui kapasitas diri untuk memimpin sebuah organisasi di luar Pondok Pesantren yang ditempuh. Agar kita dapat merepresentasikan diri sebagai seorang santri yang memiliki kualitas kepemimpinan yang kompeten terhadap dunia luar.


Alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang

Selengkapnya cek di Channel Youtube kami FORMABU OFFICIAL
Silahkan Order Buku buku lainnya 

dihalaman Index Website www.FORMABU.or.id
Reactions

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement